Sabtu, 28 Januari 2012

Sepeninggal Helen (MY REAL STORY)



                Aku dengan bangga memamerkan semua pernak-pernik dan bacaan mengenai Harry Potter pada Helen. Helen adalah sahabatku, dia juga sama denganku, sangat menyukai film Harry Potter dan segala yang berbau Harry Potter kala itu. Dia sangat menyukainya, dan membaca beberapa halaman majalah baru milikku yang topiknya mengenai Harry Potter. Dia tak mau ketinggalan satu kalimat, satu kata, bahkan satu huruf sekalipun. Tak jarang Helen mengomel pada angin, karena sesekali halaman yang hendak dibacanya tersibak angin. Akupun hanya tertawa kecil melihat Helen menggerutu pada angin setiap hal itu sesekali terjadi. Saat itu aku dan Helen memang sedang duduk-duduk di lapangan voli mungil tepat sebelah timur rumahku. Di situ sangat teduh dan penuh dengan hamparan rumput walaupun jarang dan sebagian rumput sudah terlihat tidak hijau lagi. Bangku kayu panjang itu sangat cukup  untuk tubuhku dan Helen.
                Sudah merasa membacanya tidak nyaman, Helen bukannya mengajakku  masuk ke rumah saja. Malahan dia selonjoran dengan enjoynya dan terus membaca majalah halaman demi halaman. Bahkan senyum-senyum mahal darinyapun sesekali tergambar pada wajah tembemnya. Aku tidak mengerti. Hingga beberapa menit kemudian, teriakan suara ibu Helen memanggil agar dia pulang untuk menyelesaikan tugas rumah. Walaupun sudah siang begini, Helen sangat jarang sekali beristirahat. Karena tugas rumah yang selalu menunggunya. Tetapi, ibunya terkadang juga justru berlebihan menyuruh Helen beristirahat atau makan, hingga Helen selalu mempunyai tubuh yang gemuk dan bugar bila dilihat orang. Dari kecil hingga saat itu Helen selalu terkenal mempunyai badan yang subur.
                “Helen, pulang! Bantu ibu manjemur pakaiaaan…Pekerjaanmu masih belum selesai tapi kenapa kamu malah selonjoran disitu? Lebih baik kamu pulangg!!!” teriakan itu keras sekali, memecah suara alam di siang bolong. Helenpun sempat berubah ekspresi, tetapi seraya menyahut halus, “iya, ibu.” Jujur, aku sangat terkesima pada Helen. Padahal selang beberapa lalu, dia mengeluh padaku kalau dia sudah lelah, dan dia ingin istirahat. Aku sangat tidak mengerti. Walaupun hari ini dia tampak segar, aku masih merasakan bahwa semua pernak-pernik Harry Potter ini masih kurang membuatnya lebih segar.
                Keesokan hari, aku tidak melihat Helen. Kutanyakan hal ini pada beberapa temanku yang lain, mereka bilang bahwa Helen sedang pergi ke Perak. Setahuku, di Perak itu dia pasti menemui pamannya. Teman-temanku yang lainpun merasa begitu. Akhirnya, aku mengajak teman yang lain bermain di rumahku. Bermain bersama dan tanpa Helen, menurutku rasanya ada yang kurang. Helen yang selalu bikin onar, Helen yang selalu membuat kakonyolan, dan Helen yang selalu membuatku marah karena hal sepele. Rasanya tanpa itu semua, permainan ini kurang menyenangkan. Aku masih tidak mengerti. Namun, aku tetap menghargai temanku yang lain dan tertawa bersama mereka, meskipun dibalik itu semua aku tidak ingin tertawa.
                Hari kedua, rumah Helen di ujung kontrakan terlihat sepi. Siang itu aku tak mendapatkan informasi dari siapapun. Hingga hari selanjutnya, aku mulai tidak menghiraukan Helen karena saudaraku dari desa yang bertandang ke rumahku beberapa hari. Akupun sedikit lupa pada keadaan Helen sampai lebih dari tiga hari lamanya. Hingga suatu saat tepatnya hari Minggu pagi, pagi sekali, sekitar pukul 04 pagi. Saat aku sedang pulas tertidur, ayah membangunkan aku perlahan. Beliau memberikan informasi yang membuatku amat sedih. Informasi yang sebenarnya tidak ingin aku dengar, tetapi telingaku terpaksa harus mendengarnya.
                “Helen meninggal, El….” Aku terbelalak mendengar kalimat itu. Rasa kantukku terasa jauh dari pelupuk mata, bibirku bergetar, dan air mataku mulai turun. Ini nyata, ini pengalamanku yang sangat sulit dilupakan, dan ingin aku luapkan. Sayangnya baru bisa sekarang. Ini bukan kesedihan, bagiku, Helen memang sakit dan Allah telah memberikannya pilihan terbaik dari apapun yang terbaik.
                Serontak aku melonjak dari tempat tidur. Rumah sederhana Helen yang sedikit di sebelah barat rumahku sudah mulai ramai. Mereka menunggu jasad Helen dari rumah sakit dan membicarakan keadaan Helen yang selalu bugar tetapi kenapa sekarang pergi secepat itu ke hadapanNya. Teman-temanku memelukku karena mungkin mereka tahu kalau aku bersedih. Padahal aku cukup tabah, karena beberapa hari yang lalu Helen sudah memberikan pertanda jika dia ingin beristirahat.  Dalam hati aku berterima kasih pada Helen karena dia sudah berpamitan lebih awal padaku secara tidak langsung.
                Kini aku mengerti. Aku sangat mengerti. Jasad Helen yang sudah tiba membuat air mataku  dan teman-teman bercucuran. Selesai dimandikan, jasad Helen diletakkan di dalam rumahnya. Kain putih yang menutupi jasad Helen perlahan dibuka hingga wajahnya. Semua orang terperangah melihat wajah Helen yang sangat segar, dia tampak tersenyum. Saat aku menulis inipun, masih aku ingat jelas senyum terakhir Helen dengan wajahnya yang menurutku dia sedang bahagia. Aku dan teman-teman lainnyapun seraya membacakan lantunan Yasin sambil sesekali aku memandang wajah terakhir Helen. Pikirankupun tiba-tiba mengarahkan semua memoriku bersama Helen. Dan sambil membaca Yasin, air mataku menetes. Kini aku tidak bisa tabah, dan tidak percaya kalau Allah merencanakan hal ini. Jika tahu seperti ini, saat ibu Helen memanggil, aku akan berani menghentikan perintah itu, dan menghabiskan waktu terakhir bersama Helen. Namun, sebersit aku sadar kalau waktu takkan pernah terulang. Saat ini yang Helen butuhkan adalah doa dan bukanlah penyesalan dariku. Saat pemakaman, akupun ikut. Dan saat itu adalah saat pertama bagiku berani memasuki makam. Jasad Helen mulai dimasukkan ke liang lahat dan tanah mulai mengakhiri perjumpaanku dengan Helen untuk selama-lamanya. Akupun berdoa dalam hati, berharap Helen diterima disisiNya. Padahal tepat hari minggu sebelumnya, aku dan Helen tertawa berdua dengannya, bermain bersamanya sampai azan dhuhur dan mengaji bersama saat sore hari. Namun kini, aku menangis sendirian karena kehilangan Helen. Selamat jalan sobat, hari Minggu tanggal 28 Juli 2008 itu tidak akan pernah aku lupakan…… I hope you’ll meet me again at the special moment ….








Puisi Dariku Untukmu
*maaf kalo Bahasa Inggrisnya rancu

I will  tell my story and I hope you will hear me
At Sunday only you and me together
You have a kind heart I know
You are my friend that have a pure heart
You never make me hurt I know
You are my breath that having my life

But in this Sunday I really sorry
I feel all it’s hurt
No one someone  here standing beside me
No one someone like you
I just need you in my life, no other

I think it’s a bad Sunday
I hate this Sunday
You know but you can’t do the best for me
Here I always remember and always pray for you………….



Tidak ada komentar:

Posting Komentar